Proyek Energi Terbarukan Tertunda: IEEFA Mengungkap Tantangan dan Solusi

Senin, 06 Januari 2025 | 13:13:19 WIB
Proyek Energi Terbarukan Tertunda: IEEFA Mengungkap Tantangan dan Solusi

Dalam perkembangan terbaru di sektor energi Indonesia, Lembaga Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) telah merilis temuan mengenai lambatnya proses negosiasi proyek energi terbarukan. Temuan ini memunculkan kekhawatiran terhadap pencapaian target ambisius penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 21 gigawatt (GW) sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030, apalagi mencapai 75 GW pada 2040 seperti yang diumumkan dalam COP 29. Meski proyek pengadaan energi terbarukan sudah dimulai dengan lelang sejak dua tahun lalu, mayoritas belum mencapai tahapan kontrak jual beli listrik (PPA).

Negosiasi yang Berliku

Menurut Analis Keuangan IEEFA, Mutya Yustika, pelaksanaan proyek energi terbarukan oleh PLN mengalami keterlambatan dari prediksi awal. "Meski PLN menargetkan ekspansi kapasitas energi terbarukan yang signifikan, proses pengadaannya justru berjalan lambat. Kebanyakan proyek energi terbarukan saat ini masih dalam tahap lelang dan negosiasi,” jelas Mutya dalam rilis persnya pada 16 Desember 2024.

PLN sebenarnya memiliki target untuk menambah kapasitas energi terbarukan rata-rata 2,1 GW per tahun hingga 2030. Namun, kenyataannya, dalam praktik, kapasitas hanya meningkat sebesar 0,6 GW per tahun. Untuk mengilustrasikan, dalam program penggantian 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan energi terbarukan yang diumumkan pada 2022, lelang tahap I serta penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada Desember 2023 belum juga menghasilkan kontrak final hingga saat ini.

Perencanaan yang Tertunda

Salah satu proyek besar, Proyek Hijaunesia 2023, yang menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar 1 GW, masih berada dalam tahap perencanaan dan pemilihan mitra. IEEFA menekankan perlunya restrukturisasi komprehensif dalam proses pengadaan demi mencapai kapasitas tambahan yang memadai setiap tahunnya untuk mewujudkan visi Presiden Prabowo Subianto dalam bidang energi terbarukan.

Pemerintah diharapkan menetapkan prioritas yang jelas untuk proyek-proyek yang sudah direncanakan, disertai dengan prinsip pengadaan dan kontrak yang rasional serta pembiayaan yang memadai untuk energi terbarukan 3-5 GW per tahun. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, serta melibatkan institusi seperti PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), dan Indonesia Investment Authority (INA).

Pendekatan yang Terintegrasi

Grant Hauber, Penasihat Keuangan Strategis Energi Asia IEEFA, menekankan pentingnya pendekatan terintegrasi untuk mendukung keberhasilan pengadaan energi bersih. “Aspek-aspek persiapan proyek harus dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi, didukung proses pengadaan yang transparan dengan konsep kontrak yang saling menguntungkan. Pendekatan ini perlu direplikasi secara konsisten dan terus menerus, diterapkan berbagai proyek, baik sekarang maupun di masa mendatang,” kata Grant.

Identifikasi dan prioritas terhadap portofolio proyek sangat penting, terutama yang memiliki lahan dan sumber daya yang memungkinkan untuk segera diimplementasikan. Penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis bahan bakar fosil menjadi langkah selanjutnya untuk mendukung transisi energi.

Mencapai Target Zero Emission

Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia dalam menutup semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan fosil dalam 15 tahun serta mengembangkan lebih dari 75 GW kapasitas energi terbarukan. Rencana ini merupakan bagian dari inisiatif Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (ARED) yang digagas PLN, memanfaatkan potensi sumber daya panas bumi, tenaga surya, angin, dan air di Indonesia.

Presiden Prabowo optimistis Indonesia dapat mencapai emisi nol bersih (zero emission/NZE) pada tahun 2050, lebih awal satu dekade dari target sebelumnya. Pentingnya kerjasama internasional dan investasi swasta ditekankan untuk mendukung transisi energi ini, karena pendanaan pemerintah saja dianggap tidak mencukupi.

Tantangan PLTU

Mengidentifikasi PLTU yang akan dipensiunkan menjadi isu penting lainnya. Dalam hal ini, pemerintah disarankan untuk lebih memprioritaskan penghentian operasi PLTU milik PLN, yang sebagian besar telah beroperasi lebih dari 25 tahun, seperti PLTU Suralaya Unit 1-7 dan PLTU lainnya yang belum dioperasikan penuh.

"Dalam kondisi normal, capacity factor PLTU seharusnya sekitar 80%. Namun, pada 2023, PLTU PLN di Sistem Kelistrikan Jawa-Bali hanya beroperasi dengan capacity factor 59% dan di Sumatera hanya 53%," tegas Mutya.

Pernyataan Global dan Visi Nasional

Komitmen yang dinyatakan Pemerintah Indonesia dalam forum internasional seperti G20 dan COP29 harus diterapkan dalam regulasi yang memungkinkan langkah konkret menuju energi bersih. Ketua Delegasi COP29 Indonesia, Hashim S. Djojohadikusumo, menggarisbawahi bahwa transisi energi bersih akan menjadi kunci untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sambil mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca hingga nol pada 2060 atau lebih cepat.

Dengan semua tantangan ini, Indonesia diharapkan dapat mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan mencapai target untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan. Dukungan yang konsisten dan terkoordinasi dari semua pihak terkait sangat diperlukan untuk mewujudkan masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Terkini